Selasa, 09 Desember 2008

NOCTURNAL (Poppy D. Chusfani - 2008)



Data buku:

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: tak tertera, tapi pada Ucapan Terima Kasih, pengarang menyebut nama: Anas
Desain Sampul: eMTe
Tebal: 254 halaman

Apa jadinya, jika JK Rowling menuliskan buku pertama Harry Potter hanya setebal 200 halaman?

Apakah buku itu akan tetap meledak dan menempatkan JK Rowling dalam statura nya seperti sekarang ini? Apakah Trio Harry, Hermione, dan Ron akan tetap menjadi tokoh-tokoh yang dicintai oleh jutaan pembaca? Apakah buku itu akan tetap difilmkan oleh blockbuster studios dan menghasilkan impact yang demikian dahsyat pada budaya pop kita di abad ini?

Well, gak usah sampai semuluk itu, deh. Yg langsung aja: apakah kita, sebagai pembaca, akan merasa puas dengan porsi sebuah buku Harry Potter yang cuma 200-an halaman.

Itulah, pertanyaan yang aku ajukan terhadap Nocturnal, sebuah karya Fantasy dari pengarang Poppy D Chusfani yang diterbitkan oleh salah satu penerbit besar Gramedia Pustaka Utama.

Kenapa gue mempertanyakan hal tersebut? Well, lanjutin aja baca review ini.

Tahu kenapa gue demen ama steak Abuba? Rasa dagingnya enak, servisnya cepet gak neko-neko, harganya pas tapi yg pentiiing: porsinya pas. Gak kebanyakan, tapi juga gak kedikitan.

Kebayang, nggak? Apa enaknya makan steak dengan daging seukuran tempe goreng standar. Biarpun rasanya nendang, biarpun harganya lebih murah. Teteup aja kita akan mendecak gak puas, celingukan cari-cari tambahannya, dan kalo gak tersedia, doesn't matter bahwa yg sepotong kecil itu sebenernya telah dimasak dengan lekker, tetep aja kita akan memaki-maki si restoran atas kepeditannya bikin menu.

Itulah case Nocturnal menurut gue. Sebuah karya yang sesungguhnya bagus dan solid, namun 'dipaksa' tersaji terlalu sedikit, sehingga alih-alih puas, membacanya seolah seperti menyantap steak seukuran satu gigit doang.

Apa? Sekedar teaser katamu? Agar pembaca penasaran dan memburu sekuel-sekuelnya? Well, untuk genre tertentu, mungkin rumusan itu bisa benar. Tapi untuk Fantasy, segmen pembacanya gak akan puas dengan cuma disuguhi porsi setara nasi kucing. We want more! Kurasa memang orang-orang semacam JK Rowling sangat paham akan hal itu, sehingga dia tidak terima saran agar Harry Potter edisi pertamanya dicetak dalam sub episode kecil-kecil (sebagaimana menurut pendapat industri buku saat itu, porsi yang aman buat penulis pemula), padahal di kala itu dia sendiripun masih desperate writer looking for a job.

Bicara kualitas, harus diakui bahwa Nocturnal dikreasikan secara top quality. Desain covernya cantik, dengan ilustrasi grafis yang bagus punya, karya eMTe (heran, ngapain juga menyamarkan identitas untuk sebuah karya yang layak puji? Tapi ga tau juga, yah. Siapa tahu nama eMTe ini sudah already kondang sebagai ilustrator sampul, cuma guenya aja yang gak gaul). Yeah, logo kecil di sudut itu memang norak dan menganggu, well, what the heck, anggep aja sticker yg ditempel sembarangan oleh balita. Secara keseluruhan, desain cover depan-belakang is very good.

Dalam aspek penulisannya sendiri, pengarang Poppy D Chusfani, yang juga merupakan salah satu penerjemah handal jajaran Gramedia, tidak mengecewakan. Kisah Adelia sang princess (calon Baroness) di negeri rekaan Adlerland bergulir lancar dengan berbagai tantangan dan konflik khas seputar 'reluctant hero' sampai menemukan klimaksnya di akhir cerita.

Plot ceritanya antara standar dan non-standar sekaligus. Bagian standarnya: well, tokoh protagonis cewek yang somehow punya lineage bangsawan tapi ended up bersekolah di Jakarta dengan kehidupan ala tokoh ChickLit biasa yang missi hidupnya gak lebih tinggi dari sekedar ingin jadi penari ballet, and so on, and so on. Kemudian tiba-tiba masuklah plot non-standar berupa panggilan untuk 'pulang' ke Adlerland, tanah leluhur para Nocturnal. Di sana' kehidupan Adelia berubah 180 derajat sebagai calon baroness istana klan Nocturnal, memimpin the whole clan doing battle with para penghuni Transylvania just across the hill (you know what, kan?). Jelas itu plot non-standar, and a very delicious one! (Oke-oke, the princess part emang ga terlalu non-standar buat ChickLit, tapi akui aja, being a member of the cat people is not on every ChickLit's list. Heheheh).

Yang membuat cerita menjadi menarik, adalah atensi pengarang yang cukup sempurna terhadap detail. Ada banyak aspek dalam universe Nocturnal, dan semuanya diperhatikan dengan teliti oleh pengarang. Dari sisi tokoh Adelia, yang menggilai ballet, pengarang berhasil menanamkan aspek ballet ini secara detail (dan pengarang memang udah belajar ballet sejak 10 tahun, so pengetahuannya tentu sangat bermanfaat untuk menghidupkan sang tokoh), berikut beberapa istilah khusus ballet yang membuat aroma balletnya memperkuat believability.

Setting Adlerland juga cukup rapi dan rinci, termasuk pemandangan alam dan situasi landscape (istana Raja, istana baroness dll), memperkuat nuansa Fantasy yang ingin ditampilkan pengarang. Setiap aspek dalam setting juga hadir secara wajar dan tepat.

Bahkan detail budaya pun tak dilupakan oleh pengarang. Budaya Jakarta hadir secara pas, kemudian budaya Adlerland yang semi Jerman plus situasi aristokrat dalam setting istana. Saya suka dengan small touch yang mengena, seperti panggilan Adelle untuk nama Adelia di kalangan orang-orang Adlerland, atau malah menjadi panggilan sayang "Ada". Sekali lagi, small touch, but sweet dan menyebabkan impact suasana yang berbeda.

Jika ada yang perlu dikritik dalam hal setting ini, adalah kurang signifikannya peran "Indonesia" dalam universe Nocturnal. Adelia yang berasal dari Jakarta tampak begitu blend dengan Negeri Adlerland yang berbahasa Jerman atau Inggris, dan dalam beberapa hari saja sudah menjadi orang Adlerland sejati, kagak terasa lagi sebagai anak Indonesia kecuali busana kebaya yang digunakan untuk menghadiri pesta di Istana raja. Well, serasa nggak ada dampaknya terhadap plot, apakah si Adelia itu besar di Indonesia, atau di Filipina, atau di Afrika.

Pengarang juga sudah membuat setting yang potensial banget buat menggerakkan plot. Ada 'putri' yatim yang harus menyesuaikan diri dalam kehidupan baru yang sangat asing, ada kaum manusia berkemampuan khusus yang punya sembilan nyawa, ada kaum Vampir, ada pertarungan wilayah kekuasaan antara Kerajaan Adlerland dengan kaum Vampir Transylvania, ada musuh dalam selimut,... well basic settingnya udah asyik, dan pengarang sudah mengembangkannya secara cukup mengasyikkan.

Paduan dari setting dan plot yang solid ini melahirkan kisah yang enak untuk dinikmati, dan terus terang membuat sekuel-sekuelnya menjadi layak untuk ditunggu. Saya hanya punya sedikit catatan kecil dalam hal penyusunan setting oleh pengarang.

Misalnya istilah Nocturnal untuk menggambarkan klan manusia kucing (alias manusia yang diberkahi kekuatan kucing dan memiliki sembilan kali kesempatan hidup alias sembilan nyawa). Well, 'Nocturnal' sendiri adalah istilah kata sifat yang bermakna 'aktif di malam hari', umumnya digunakan terhadap hewan-hewan yang mencari makan di waktu malam dan tidur di waktu siang. Not necessarily refer ke kucing, sebenernya. Sampai saat ini saya juga masih iseng cari-cari istilah yang merefer ke manusia-kucing di internet, sayang belum dapet juga. Inget dulu ada film Cat-People, mungkin ini referensi paling dekat dengan kaum Nocturnal-nya Poppy, tapi bedanya di film Cat-People orang-orangnya bisa bener-bener bertransformasi menjadi kucing garong, hehehe.

Artinya penggunaan istilah Nocturnal mungkin agak tidak tepat. Mungkin malah lebih eksotik kalo bisa dapet istilah yang berbau-bau bahasa Mesir.

Kemudian exact nature-nya Nocturnal ini juga rasanya masih belum jelas. Mungkin akan diperjelas dalam sekuel. Tapi buat saya ada satu dimensi yang 'hilang' ketika pengarang mengolah setting ini dalam cerita, yaitu ketiadaan aspek 'magic' dalam universe Nocturnal. Kelebihan manusia Nocturnal dalam novel ini adalah sebatas kemampuan fisik yang lebih kuat, lebih cepat, lebih ganas, dan sense-nya lebih acute dari manusia biasa (termasuk juga adanya sembilan nyawa itu). Tapi sebabnya apa? Kind of magic, juga kan? Lawannya, para Vampir, juga hanya tampil lebih-kurang sama secara fisik. Nah, di sini aspek magic tidak terlalu diolah, terkesan diabaikan. Padahal ruang untuk bermain magic sangat besar di sini, mengingat settingnya sangat membuka peluang ke arah sana. Itu sebabnya 'kekalahan' sang raja Vampir di tangan Adelia menjadi sedikit kurang logis, sebab sang raja yang sudah berusia tujuh ratus tahun seharusnya punya kekuatan magic yang gak kecil,....

Jadi kesannya, setting banyak dipengaruhi oleh setting film-film Vampir Hollywood yang lebih mengedepankan aspek fisik.

Catatan lain tentang nama juga, adalah penamaan Adlerland,... gimana yah, rasanya koq kurang berasa 'Jerman',... hehehe. Ga tau deh, apakah sebenernya secara ilmu pembentukan kata udah benar atau belum. Tapi kupikir mengingat tetangganya adalah Transylvania, Rumania, mungkin nama yang cocok adalah yang ada bau-bau "Nia" juga, kali-kali seperti Adlervania, getoh (hehehehe).

Di luar catatan tersebut, menurut gue sih Nocturnal sudah merupakan karya yang 'genap', alias segala sesuatunya sudah berada dalam pertimbangan yang pas.

Tinggal,.... my biggest complaint: Semua terasa berlangsung terlalu singkat!!

Yah akibat cuma 254 halaman, apa mau dikata seperti nonton LOTR dalam bentuk condensed. Pengarang sudah berusaha untuk membuat irama baca yang mengalir namun tetap kompak. Saya akui dia cukup berhasil. Tapi sebagai penikmat Fantasy, saya ngerasa banget bahwa cerita ini sesungguhnya baru 'pas' bila dibikin lebih 'kaya'.

Seperti yg saya bilang, apa rasanya baca Harry Potter cuma 200 halaman? Saya akan miss suasana Hogwarts, saya akan kehilangan rasa mengenai bagaimana murid-murid Hogwarts di tahun pertama, kedua, ketiga, kehilangan mata-pelajaran Hogwarts yang seru-seru, kehilangan romatika Quidditch dan seterusnya,..... semua hal yang mensignifikansi kehadiran Dunia Harry Potter dalam imajinasi saya. Semua hal yang menyebabkan Harry Potter tak sekedar cerita tentang anak laki-laki yang bersekolah sihir.

Betapa gemesnya saat membuka-buka halaman Nocturnal, kala saya merasakan perasaan yang sama, ingin agar part ini-itu lebih diperluas dan diperkaya lagi. Karakter Adelia yang walaupun sudah cukup bagus diolah pengarang, tetap terasa perlu lebih 'dalem' lagi, konflik-konfliknya, perkembangan karakternya,... semuanya terasa perlu lebih. Karakter lainnya pun deserves halaman lebih. Bahkan si Vladimir sang antagonis pun, rasanya perlu dapat porsi tambahan halaman.

Yah, saya nggak bisa terlalu menuntut.

Tapi judging dari kemampuan pengarang mendeliver ceritanya dalam format 254 halaman ini, saya bisa memperkirakan bahwa beliau sebenernya punya kemampuan untuk mendeliver lebih dari itu (dan tetap bagus!). Tuntutan 250 halaman, kalau boleh saya tebak, ya gak lain berasal dari pihak penerbit, mungkin dalam rangka strategi.

Sudah menjadi anggapan umum, bahwa bikin buku di Indonesia sebaiknya jangan tebal-tebal, sebab:

a. Harga kertas mahal, harga buku nantinya jadi mahal
b. Orang Indonesia nggak demen buku tebal
c. Resiko penerbit kalo bukunya gak laku akan lebih tinggi bila buku tebal.

Jadi cukup bijak bila penerbit tidak berani cetak buku tebal-tebal, cari aman.

Tapi entah, bagaimana saya harus ambil posisi, jika ada pengarang sepotensial Poppy terhalang kemajuannya akibat strategi cari aman penerbit. Well, toh penerbit bisa melihat materi-nya, dan apakah materi seperti karya Poppy ini tak mampu menimbulkan rasa percaya diri penerbit akan kualitas pengarangnya? Ironisnya hal itu justru dilakukan oleh penerbit gede! Mungkin malah bener kata orang, semakin gede justru semakin sulit ambil resiko.

Kalau saya coba merefleksikan, memang saya lihat jarang banget GPU mau nerbitin karya pengarang lokal, yang tebal. Keluaran GPU rata-rata tipis, dan mainnya di segmen aman seperti Teenlit (Even Nocturnal juga di'paksa'in masuk ke genre Teenlit!). Terbitan tebal GPU hanyalah di novel-novel terjemahan yang udah jelas lakunya di luar negeri. Emang jelas banget niat main amannya.

Tak heran bila GPU gak pernah mencatat block-buster, katakanlah sebagaimana Bentang-Mizan menangguk sukses lewat Tetralogi Laskar Pelangi (Nah, sekali lagi apa jadinya Laskar Pelangi bila tebalnya cuma seratus halaman? Hehehe,...). Yah, seperti kata orang, no pain, no gain!

Tapi anyway, adakah cara untuk menambah kepercayaan diri GPU? Setidaknya jika mereka punya jajaran penulis sebaik Poppy D. Chusfani (dan kita tahu lah, GPU punya standar kebahasaan yang bagus sekali), mustinya mereka tidak usah takut ambil peran sebagai garda depan literasi Fiksi Fantasi Indonesia, yang bener-bener berani nerbitin buku Fantasy yang memuaskan pembaca Fantasy Indonesia. Nggak ada salahnya dong, aku berharap? Soalnya menurut gue secara infrastruktur knowledge, know-how, maupun SDM mereka udah mumpuni. Yang belum ada cuma Visi dan keberanian aja.

Terus-terang itu pertanyaan yang tak mudah dijawab. Dan best we leave that as it is. Hanya satu yang jadi harapan saya, untuk Poppy: jangan kau kekang kreativitas yang luar biasa itu, dan kalau memang mungkin, please wujudkan your Nocturnal Universe in it's fullest potential! Gue percaya banget sama karya kamu!

Salam

FA Purawan